Review Jurnal Hukum Dagang
ANALISIS SISTEM HUKUM JUAL BELI HAK
ATAS TANAH SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG
POKOK AGRARIA
Pengarang : H a
r y a t i
Abstrak
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun
1960), untuk
mdakukan perbuatan hlikum jual beli hak atas .tanah berlakulah
ketentuan
httktrnt yang bersijat dualisme, yaitu menurtmt Hukurn Adat dun Hukum
Barat. Setelah
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang bersifat unifikasi
(kesatuan
hukum), jual beli hak atas tanah tidak menggunakan kedua ketentuan
hukum diatas,
melainkan menggunakan sistem dan asas-asas Hukum Adat.
Pendahuluan
Dengan mulai
berlakunya Undang- Undang pokok Agamia (undang- undang No.5/1960)terjadilah
suatu perubahan fundamental dalam Hukum Agraria Indonesia. Sebelum itu terdapat
apa yang di sebut “dualisme” dalam Hukum Agraria kita, yaitu bersumber pada
Hukum Barat yang sebagian terbesar berpokok pada ketentuan-ketentuan Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia (Hukum Agreria Barat),di samping Hukum
Agraria yang bersumber pada Hukum Adat, yang sebagian besar kaidah-kaidahnya
merupakan Hukum yang tidak tertulis(Hukum Agraria Barat).
mulai berlakunya
UUPA dualisme tersebut di hapuskan, yaitu dengan dicabutnya dualisme tersebut
di hapuskan, yaitu dengan dicabutnya Buku II kitab Undang – Undang Hukum
Perdata indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.Namun
sekarang mengenai hipotik telah di atur dalam Undang-Undang No.41 1996, yang
mengatur tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengn Tanah.Dengan demikian UUPA telah menciptakan unifikasi hukum(Kesatuan
hukum) yang dengan tegas memakai dasar Hukum Adat ( Pasal 5 UUPA, yang
menyatakan bahwa : “Hukum Agraria yang berlaku ialah hukum adat).
Mengingat
sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria mengenai jual beli hak atas
tanah itu terdapat 2(dua)sistem humum, yaitu menurut pengerian hukum adat dan
hukum barat.
PEMBAHASAN
1.Jual Beli Hak
Atas Tanah Menurut Hukum Adat
Menurut hukum
adat jual beli hak atas tanah bukan merupakan perjanjin dimana yang dimaksudkan
dalam pasal 1457 KUHP perdata , melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa
penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk
selama-lamanya,pada saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.
Dengan dilakukannya jual beli trsebut maka hak milik atas tanah it beralih
kepada pembeli.Menurut hukum pembeli telah menjadi pemilik baru. Harga tanah
yang di bayar bisa dianggap telah di bayar penuh.
Jual beli hak
atas tanah menurut Hukum Adat bersifat apa yang di sebut “contoh” atau “tunai”.
Pembayaran harga dan penyerahan haknya di lakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu
jual beli tersebut menurut hukum telah selesai.Sisa harganya yang menurut
kenyataannya belum dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik,
atas dasar perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan
bekas pemilik segera setelah jual beli tanah tersebut di lakukan. Perjanjian
utang piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan jual beli hak atas
tanh.berarti bahwa jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka
bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual beli.Penyelesaian pembayaran
sisa harga tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.
Dalam Hukum Adat
“jual beli tanah” bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut
“perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang di setujui
bersama di bayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Biasanya jusl
beli tanah itu dilakukan Kepala Adat(Desa),tetapi dalam kedudukannya sebagai
kepala adat(Desa) menanggung, bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum
yang berlaku.Dengan dilakukannya dimuka kepala Adat jual beli itu menjadi
“terang” bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Pembeli mendapat pengakuan dari
masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan
hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap
jual beli tersebut tidak sah.
Di keputusan
lain mahkamah agung berpendapat bahwa : peranan kepala desa atau kepala adat
pembuatan perjanjian yang menyangkut tanah menyatakan : “suatu putusan rapat
Desa(rapat selapanan) tentang pengalihan tanah yang diadakan sebelum berlakunya
UUPA dinyatakan tetap berlaku”.(Putusan Mahkamah Agung nomor
187/K/Sip/1975,tanggal 17 maret 1976).
Umumnya dari
jual beli hak atas tanah dibutuhkan suatu AKTA, berupa pernyataan dari pihak
yang menjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli.(istilah menurut
hukum adat :di jual lepas)
Menurut hukum
adat untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya apa yang disebut
“panjer”.Panjer dapat berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan
kepada pemilik tanahnya.Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum
Agraria atau Hukum Tanah,melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum
perutangan.Jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada hukum adat maka hukum
yang berlaku terhadap perjanjian itu adalah hukum adat. Jika pihak-pihak yang
besangkutan tunduk pada Hukum Barat maka yang berlaku adalah Hukum perjanjian
yang terdapat dalam KUHP perdata. Tetapi perjanjian itu bukan perjanjian jual
beli yang dimaksudkan dalam pasal 1457. Jika pihak pemilik dan calon pembeli
tunduk pada hukum yang berlainan,maka hukum antara golonganlah yang akan
menunjukkan hukum manakah yang berlaku.
2.Jual Beli Hak
Atas Tanah Menurut Hukum Barat
Menurut Hukum Barat
jual beli,pengaturannya ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Menurut
pasal 1457 KUHPerdata,jual beli adalah suatu perjanjian,dengan mana pihak yang
satu(penjual)mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas)suatu benda
dan pihak yang lain(pembeli) untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.selanjutnya dalam pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli
itu di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai
kata sepakat mengenai benda yang dijualbelikan itu serta harganya.Dalam sistem
Hukum Barat jual beli mengenai tanah,tanahnya harus diserahkan kedalam
kekuasaan pembeli dengan perjanjian tersendiri.Hak milik atas tanah tersebut
baru beralih kepada pembeli jika telah dilakukan apa yang disebut “penyerahan
yuridis”(juridische levering). Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu baik
pembeli maupun penjual kedua-duanya wajib hadir. Biasnnya penjual setelah
perjanjian jual beli dilakukan memberi kuasa kepada penibeli untuk hadir dan
melaksanakan penyerahan yuridisnya untuk dan atas nama penjual, yaitu jika
harganya sudah dibayar lunas.
Perianjian jual
beli pengaturmya termasuk Hukum Perjanjian (Hukum Perikatan atau Hukum
Perutangan),sedang penyerahan yuridisnya termasuk Hukum
Benda(HukumTanahatauHukum Agnria). Sebelum dilakukan penyerahan yuridis barulah
ada pihak penjual akan menyerahkan haknya kepada pembeli, janji mana sungguhpu
merupakan kewajiban hukumbelm tentu akan benar -benar dilaksanakan.
Sudah menjadi
kenyataan bahwa setiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri dan juga mempunyai
hukum sendiri,yang berbeda dari kebudayaan dan hukum bangsa lain. Dalam
membandingkan kedua sistim hukum yang berlaku dalam jual beli hak atas tanah,
yaitu menurut Hukum Adat Dan Barat ini, kita tidak semata-mata hingga mengetahui
pebedaan-perbedaan itu,tetapi yang penting adalnh untuk mengetahui sebab-sebab
adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Adapun sebab-sebab dari
perbedaan-perbedaan tersebut adalah adanya cara berfikir dan sifat
(karakter)satu bangsa dan lainnya berbeda.
Hal ini
tercermin dari kebudayaan dan hukumnya. Cara berfikir orang barat digambarkan
sebagai abstrak, analitis,sistematis. Sedangkan cara berfikirorang Indonesia
menurut Hukum Adat adalah konkrit dan riil. Sesuai dengan cara berfikir
tersebut diatas, maka pengertian jual beli dalam Hukum Adat adalah suatu
penyerahan barang secara nyata untuk selama-lamanya dengan penerimaan harganya.
Lain sekali dengan pengertian Hukum Barat, jual beli sebagai perjanjian
obligatoir, baru memberikan hak kepada pembeli setelah dilaksanakan penyerahan yuridis kepada
pembeli. Disamping perbedaan diatas masih ada perbedaan lain, yakni : Hukum
Barat, dalam hal tanah menganut asas "vertikal", sedangkan Hukum Adat
menganut "asas Pemisahan Horisontal", dengan demikian berarti rumah
dapat diperjual belikan terpisah dari tanah. (Putusan Mahkamah Agung, nomor:
2339 K/Sip/1982, tanggal 16 Juni 1983,yang menyatakan bahwa : menurut pasal5 -
bagi tanah berlaku Hukum Adat,ha1 mana berarti rumah dapat diperjual belikan
terpisah dari tanah (pemisahjan horisontal).
Menurut asas
vertikal hak milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada
diatasnya (bangunan). Asas vertikal juga dinamakan asas
absorpsi,artinya, menyedot segala apa yang berada diatasnya. Menurut asas
Horisontal hak milik atas sebidang tanah tidak meliputi bangunan diatasnya.
KESIMPULAN
Dalam jual beli
hak atas tanah menurut sistem Hukum Adat, antara pembayaran harga dan
penyerahan hak dilakukan bersama-sama, dan pada saat itu hak milik atas tanah
berpindah. Karena sifatnya yang kontan, saat ini pembeli sudah menjadi pemilik
tanah yang baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara berfikir orang
indonesia adalah kongkrit dan rill, maksudnya adalah bahwa dalam hukum adat
jual beli adalah suatu penyerahan barang secara nyata untuk selama lamanya
dengan penerimaan harganya.
Berbeda dengan
jual beli hak atas tanah menurut sistem Hukum Barat.Menurut sistem Hukum Barat
dibedakan antara : perjanjian jual belinya dan penyerahan yuridisnya. Karena
itu,sistem ini dikatakan bersifat : “konsensuil”. Jadi hak atas tanahnya baru
di pindah setelah di buatnya akta penyerahan yuridis (levering juridis) oleh
pejabat balik nama (overschrijvingsambtenaar).karena itu cara berfikir orang
barat digambarkan sebagai abstrak analitis dan sistematis, maksudnya adalah
bahwa jual beli sebagai perjanjian obligator, baru memberikan hak kepada
pembeli untuk minta diserahkannya suatu barang masih harus dituntut
pelaksanaanya.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono
(1971), Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah penyusunan, isi dan
pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
------------------
(1999), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Djaren Sarangih
(1980), Pengantar Hukum Adat Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Effendi Perangin
(1986), Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, C.V. Rajawali, Jakarta.
Harun Al Rashid
(1987), Sekilas Tentang Jual Beli Tanah Ghalia Indonesia, Jakarta.
Hilman
Hadikusuma (1979), Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung.
Iman Syudiat
(1978), Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.
Subekti (1992),
Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Suryo
Wignjodipuro (1973), Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Sumber
wah, ada daftar pusatakanya juga. makasih infonya gan.
BalasHapusSemoga info ini bermanfaat juga, memang banyak orang yang ingin sukses udaha dagang nya tanpa dibarengi dengan kualitas produk & pelayanan yang dijualnya. Bagaimana bisa? Karena yang namanya cara dagang memang perlu adanya peningkatan kualitas barang dagangannya. Tak perlu melakukan hal yang repot seperti belajar bisnis atau kursus online, seperti wanita yang ingin belajar materi dalam hal kecantikan (tata rias) di tempat penghasil bahan-bahan maklon kosmetik aman tidak berbahaya. Umumnya orang dagang sudah punya banyak pengalaman sebagai usaha nyata (lahir) nya, tapi terkadang masih kurang mengerti ilmu pelarisan seperti dalam usaha batin nya. Maka dari itu silakan coba mengimbangi dengan sarana batin, seperti menggunakan sarana pelarisan. Banyak orang yang bilang sebaiknya memang usaha nyata (lahiriah) dengan usaha batiniahnya harus seimbang. Berbicara masalah pelarisan dagang, ada yang pernah menyarankan menggunakan sebuah JIMAT yang katanya AMPUH. Informasi selengkapnya
saya peroleh dari DISINI>> JIMAT PELARISAN
Semoga bermanfaat.